ISLAMISASI INDONESIA YANG MANDUL

Salah satu ciri penaklukan (baca :pembebasan) Islam ke negeri lain yang dulunya bukan Islam, atau yang dikenal dengan futuhat islamiyah adalah dibangunnya pusat peradaban besar di negeri yang telah masuk ke pangkuan umat Islam itu.

Maka negeri dan kota seperti Kufah, Bashrah, Damaskus, Himsh, Halib, Mesir, Yaman, Andalusia, Qurtubah, Tunis, Aljazair dan lainnya bukan hanya menjadi pusat pemerintahan, yang ditandai dengan adanya istana dan masjid yang bersisian dan terletak di pusat kota, tetapi juga berdiri pusat pengajaran ilmu agama, alias universitas.

Boleh kita simpulkan bahwa salah satu ciri negara Islam adalah terdapatnya universitas yang mengajarkan ilmu agama, serta 'memproduksi' ribuan ulama besar. Dan para ulama itu kemudian mewarnai tsaqafah penduduk negeri itu dengan syariat Islam yang amat kental.

Kufah melahirkan ribuan ulama, demikian juga Bashrah. Mesir dengan Al-Azharnya juga terkenal sebagai 'mesin pencetak' para ulama.

Kota Assyut di Mesir terkenal sejagad dunia Islam karena melahirkan ulama besar, Al-Imam As-Suyuthi. Qordova di Spanyol menjadi terkenal karena disana ada ulama besar penulis kitab tafsir Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Al-Qurthubi.

Damaskus terkenal di dunia, juga melahirkan ulama besar dengan gelar Ad-Dimasyqi. Bahkan Bukhara dan Samarqand yang nota bene bukan negeri Arab, juga melahirkan ulama tersohor seperti Al-Bukhari dan Abu Al-Laits As-Samarqandi.

Nah, yang jadi keprihatinan saya (atau kebingungan mungkin) adalah bahwa saya tidak menemukan jejak adanya universitas Islam yang melahirkan ulama di kerajaan-kerajaan Islam di nusantara.

Padahal kita punya peninggalan kerajaan Islam yang cukup banyak. Katakanlah ada Samudera Pasai, Sriwijaya Islam, Demak, Mataram, Ternate, Tidore dan seterusnya.

Tapi kalau kita jalan-jalan ke kota dimana masih ada sisa peninggalan keraton, istana dan alun-alun, saya tidak melihat ada sisa bangunan universitas Islam yang merupakan ciri negeri Islam.

Di Jogja kita memang menemukan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, ada alun-alun, ada masjid, tapi universitas Islam yang melahirkan para ulama kok tidak ada?

Hal yang sama juga terjadi di Keraton Solo, kita tidak menemukan jejak bahwa di Keraton yang notabene Islam ini ada universitas Islam.

Bahkan di Demak Jawa Tengah sekali pun, yang konon pusat para wali songo, kita cuma menemukan peninggalan berupa bangunan masjid, alun-alun plus makam atau kuburan yang akhirnya malah jadi objek wisata ziarah. Tapi peninggalan bekas tempat dikadernya para ulama, tidak saya temukan.

Kenyataan ini agak aneh dalam pandangan saya. Kenapa kerajaan-kerajaan Islam di nusantara tidak membangun universitas Islam yang melahirkan para ulama, sebagaimana lazimnya di belahan dunia Islam yang lain.

Sebab kalau sebuah peradaban, apa pun itu, tidak melahirkan kader-kader yang meneruskan tsaqafahnya, maka peradaban itu tentu akan cepat punah.

Boleh jadi itu salah satu penyebab kenapa agama Islam dan syariahnya tidak sampai 100% dipahami dan dijalankan oleh umat Islam di nusantara. Penyebabnya karena kerajaan Islam tidak pernah mendidik rakyatnya dengan ilmu syariah.

Pantas saja segala khufarat, tahayul, klenik dan yang syirik-syirik masih laku di tengah masyarakat. Sebab kerajaan tidak melahirkan ulama, sehingga rakyat dibiarkan bodoh dan jahil terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an.

Padahal pemerintah kolonial Belanda sekali pun, ketika menjajah negeri kita selama 350 tahun, mereka tidak lupa membangun insitusi pendidikan, bahkan mulai dari HIS yang setara SD di masa sekarang, sampai ke level perguruan tinggi.

Kenapa?

Karena sebuah peradaban biar bagaimana pun butuh SDM yang terdidik dengan tsaqafah dari peradaban itu, agar ada generasi yang melanjutkan perabadan itu.

Maka tidak heran di masa sekarang ini, meski Belanda sudah hengkang dari negeri kita dan bangsa Indonesia telah merdeka puluhan tahun, tapi hukum-hukum warisan Belanda masih bercokol dan berlaku secara resmi disini.

Anehnya, yang masih cinta mati dan kemudian memberlakukan hukum-hukum itu bukan orang Belanda, tetapi putera-puteri Indonesia, yang sebenarnya nasionalis, tapi karena mereka lahir dari pendidikan Belanda. Maka wajar saja kalau mereka masih saja memuja ilmu-ilmunya orang Belanda.

Sementara ketika Kerajaan Islam Nusantara tidak pernah mengkader SDM, tidak melahirkan ulama, tidak mewariskan ilmu-ilmu, maka tidak ada generasi yang ingin menjalankan hukum Islam dan melestarikannya.

Meski agama Islam dipeluk oleh lebih dari 90% penduduk, dan pasca kemerdekaan umat Islam punya partai Islam sekelas Masyumi, tapi hukum Islam tidak pernah bertahta disini. Masyumi sendiri tidak pernah menang dan berkuasa dalam semua pemilu.

Ternyata yang jadi sebab utama karena umat Islam di Indonesia kebanyakannya memang tidak mengerti hukum Islam, bahkan merasa asing, aneh dan merasa takut, jijik, dan phobia luar biasa. Kalau pun ada yang belajar agama, jumlahnya amat terbatas. Ulama bukannya tidak ada, tapi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah bangsa Indonesia.

Sehingga muslim nusantara ini sekedar menjadi muslim secara kulit terluarnya, tetapi isi fikrah dan ideologi dasarnya tidak terbentuk dengan ilmu-ilmu keislaman.

Seandainya kerajaan Islam nusantara dahulu membangun tradisi keilmuwan, perguruan agama, dan universitas Islam, barangkali lain ceritanya. Sebab mereka akan punya SDM ulama yang kuat, dalam jumlah yang banyak, serta rakyat yang terdidik cerdas dalam ilmu-ilmu keislaman.

Tapi buat apa kita sekarang menyesalinya, toh zaman itu sudah berlalu. Yang sekarang bisa kita lakukan mungkin belajar dari masa lalu.

Dan sebenarnya intinya cukupsederhana, yaitu mari kita bangun institusi pendidikan ilmu keislaman itu. Syaratnya harus profesional, original, fokus dan mendapat perhatian yang serius.

Sayangnya, urusan yang terakhir, yaitu 'mendapat perhatian serius' itu yang tidak ada saat ini. Buktinya, belum banyak para tokoh pemimpin umat yang sadar betapa pentingnya pendidikan Islam dan pengkaderan ulama. Mereka masih asyik dengan seabreg kegiatan, baik sosial atau pun politis.

Mungkin mereka tidak menyadari bahwa penjajah Belanda sekalipun ketika menjajah, tidak lupa membangun sekolah dan kampus, untuk melahirkan generasi yang terdidik dengan tsaqafah bangsa itu.

Sekolah dan kampus milik umat sekarang ini memang banyak, tapi sayangnya, orientasi dan kualitasnya sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Sekolah dan kampus milik umat Islam saat ini hanya sekedar lembaga formal, jauh dari kesan sebuah lembaga pengkaderan ulama yang ahli di bidang ilmu syariah.

Maka meski usia sekolah dan kampus milik umat Islam itu sudah puluhan tahun, kita tidak menemukan para ulama lahir di dalamnya.

Ternyata sekolah dan kampus Islam tidak mendapat perhatian serius dari para tokoh umat. Mereka rajin bikin kegiatan, rajin berpolitik, rajin membangun institusi, bahkan rajin bikin ormas, tapi tidak rajin memberi perhatian kepada terbentuknya lembaga pendidikan dan pengkaderan ulama yang berkualitas.

Akhirnya yang muncul di pentas hanya artis dan badut yang mengaku-ngaku ulama, hobinya nongol di TV untuk sekedar melakukan (maaf) 'onani pentas dakwah'. Tidak bisa melahirkan umat yang melek ilmu syariah.

Al-Islamu Mahjubun bil Muslimin, cahaya benderang Islam redup hanya lantaran tertutup oleh kedegilan umatnya yang tidak paham agamanya. by: ust ahmad sarwat. 
Sumber : https://www.facebook.com/abu.azzam.520/posts/4352289494575

Komentar

Postingan Populer